BANDA ACEH - Usia perjanjian damai antara Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusia 10 tahun. Penghentian permusuhan tersebut berakhir setelah penandatanganan kesapakatan damai pada 15 Agustus 2005 atau beberapa bulan setelah tsunami menghancurkan Aceh.
Usia 10 tahun perdamaian antara RI dan GAM disambut sukacita oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Ini karena beberapa perjanjian damai sebelumnya tidak berusia sampai setahun. Bahkan saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memimpin Indonesia, perdamaian antara RI dan GAM telah dirintis, namun berkali-kali gagal.
Selain itu, setelah perjanjian damai dan konflik bersenjata berakhir, masyarakat Aceh sudah bisa beraktivitas secara normal tanpa takut terjadi kontak senjata atau menjadi korban salah tangkap.
Namun, kebahagiaan tersebut belum sepenuhnya dirasakan masyarakat Aceh.
Sejumlah korban konflik di Aceh masih ingin tahu keberadaan keluarga mereka yang hilang ketika konflik. Kalaupun mereka telah meninggal, korban konflik hanya berharap tahu lokasi pusara keluarga mereka.
Fatimah, salah seorang korban konflik asal Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Selasa (18/8), sangat kecewa karena keinginan mengetahui keberadaan anaknya yang hilang sirna. “Saya sudah bertahun-tahun mencari keberadaan seorang anak yang hilang saat konflik pada 2001, setelah diambil aparat keamanan. Saat itu, anak saya baru berumur 23 tahun. Namun hingga saat ini, saya tidak tahu keberadaannya, masih hidup atau sudah meninggal,” tutur Fatimah.
Ia tidak berharap aparat keamanan yang telah mengambil anaknya dihukum. Fatimah hanya kepastian anaknya masih hidup atau sudah meninggal.
“Kalaupun anak saya sudah meninggal, saya hanya ingin tahu tempat dia dimakamkan,” ujarnya.
Sulasti, seorang korban konflik asal Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara, mengharapkan hal sama. Ia hanya ingin mengetahui keberadaan suaminya yang hilang sejak 2000.
“Suami saya hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya. Kabar terakhir, dia ditangkap aparat keamanan karena dituduh anggota GAM. Setelah DPRA mengesahkan Qanun KKR, saya sangat senang karena akan mengetahui keberadaan suami saya. Tapi, saya kembali sedih, qanun yang telah saya tunggu bertahun-tahun itu ditolak mendagri (menteri dalam negeri),” ucap Sulasti.
Belum Diimplementasikan
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, Hendra Saputra mengatakan, setelah 10 tahun pascaperdamaian yang ditandatangani di Helnsinki antara GAM dengan RI pada 15 Agustus 2005, pemenuhan hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tidak diselesaikan pemerintah. “Hingga saat ini, pemerintah belum melakukan langkah-langkah yang signifikan untuk pemenuhan hak-hak korban. Bertepatan dengan perayaan Hari HAM Sedunia yang jatuh pada 10 Desember 2014, agenda mereduksi HAM itu masih terlalu kuat,” kata Hendra.
Ia menyebutkan, catatan buruk pada Hari HAM saat ini adalah gaung hari perdamaian yang disuarakan Gubernur Aceh Zaini Abdullah pada peringatan sembilan tahun Perjanjian Helsinki belum terwujud. "Kami melihat produksi kekerasan yang terjadi pada masa lalu hingga kini masih menjadi hantu dalam benak korban. Ketidakmauan dan ketidakmampuan negara untuk menjamin perlindungan HAM masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diseriusi hingga kini," ucap Hendra.
Dalam catatan selama ini, Kontras Aceh mencatat, ada beberapa pasal Perjanjian Helsinki belum diimplementasikan. Itu di antaranya pembentukan Pengadilan HAM, Komisi Klaim Bersama, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
"Sampai sekarang kami melihat, hingga pengesahan Qanun KKR pada Jumat 27 Desember 2013, produk tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pemerintah pusat kembali mempertanyakan pengesahan Qanun KKR Aceh oleh DPR Aceh yang seharusnya menunggu pengesahan UU KKR nasional," kata Hendra.
Mandat dari nota kesepahaman yang kemudian terimplementasikan dalam UU Pemerintah Aceh (PA) No 11/2006, yaitu Pasal 260 menegaskan, KKR di Aceh harus sudah berlaku efektif paling lambat SEtahun sejak hadirnya UU PA. Artinya, sejak 2007, mestinya KKR Aceh sudah bekerja mengungkap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah itu.
Sebelumnya, korban pelanggaran HAM ketika konflik bersenjata di Provinsi Aceh kembali harus mengurut dada. Pasalnya, keinginan mereka guna mengetahui keberadaan keluarga yang hilang saat konflik sirna lagi setelah mendagri menolak atau membatalkan Qanun KKR.
Staf Ahli Bidang Hukum dan Politik Mendagri, Zudan Arif Fakrulloh menyebutkan, Peraturan Daerah (Perda) Aceh untuk KKR melampaui UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Dalam UU Nomor 11 /2006, hanya diatur terkait pembentukan kelembagaan dan tidak meliputi kewenangan bagi KKR.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengklarifikasi kepada pemerintah Aceh. Jika dalam klarifikasi pemerintah Aceh saat membuat Qanun KKR tidak melaksanakan sesuai UU tentang Aceh, qanun tersebut akan dibatalkan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPRA, Teungku Muharuddin menyebutkan, Pemerintah pusat atau Kemendagri tidak boleh begitu saja mencabut Qanun KKR yang disahkan DPRA pada 27 Desember 2013. “Jika Qanun KKR dicabut tanpa bermusyawarah dengan masyarakat Aceh, itu dapat menimbulkan masalah baru, seperti masyarakat Aceh kembali tidak percaya dengan pemerintah pusat. Ini juga dapat merusak perdamaian Aceh,” kata Muharuddin. (*)
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar