BANDA ACEH - Eskalasi konflik gajah dengan manusia di Aceh masih tinggi, akibat habitat binatang dilindungi itu yang mulai terganggu. Pemerintah harus membangun kawasan konservasi khusus gajah (santuari) di provinsi itu untuk mengatasi konflik tersebut.
Konflik gajah dan manusia di Aceh bukan hanya menimbulkan korban jiwa manusia dan matinya hewan dilindungi, tapi juga berdampak serius pada kerugian masyarakat. Banyak kebun dan rumah warga rusak akibat amukan gajah.
Dalam sepekan terakhir, belasan rumah warga di Seumamah Jaya, Kecamatan Ranto Peurlak, Kabupaten Aceh Timur dirusak gajah. Sejumlah tanaman di kebun warga juga diobrak-abrik hewan itu.
Dua pekan sebelumnya amukan gajah liar di Kampung Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah telah memaksa lebih 100 jiwa penduduk di sana mengungsi. Lahan perkebunan mereka juga rusak diserang gajah. Bahkan dalam setahun terakhir sudah tiga warga Pintu Rime Gayo tewas diinjak gajah.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) mencatat dalam dua tahun terakhir, 16 gajah Sumatera mati di Aceh dengan berbagai motif. Kasus teranyar seekor gajah betina ditemukan mati di Seumamah Jaya, Kecamatan Ranto Peurlak, Aceh Timur pada 11 November 2015.
“Sepanjang tahun ini saja sudah ada empat kasus kematian gajah dengan jumlah individu gajah yang mati ada enam individu, termasuk yang di Aceh Timur kemarin,” kata Kepala BKSDA Aceh, Genman Suhefti Hasibuan kepada Okezone, Kamis (12/11/2015).
Dua diantara gajah itu ditemukan mati di Aceh Timur, dua lagi di Aceh Jaya. Sisanya ditemukan mati akibat ditembak di Aceh Barat pada April lalu.
Menurutnya jika dibanding dengan tahun lalu, kematian gajah tahun ini menurun. Pada 2014 lalu, BKSDA mencatat ada 10 ekor gajah yang ditemukan mati.
Genman mengatakan upaya mengatasi konflik gajah dengan manusia di Aceh sekarang tidak pernah efektif, karena hanya dilakukan lewat penangkapan dan penggiringan. “Ini pekerjaan yang berulang-ulang dan sangat tidak efektif. Kita giring dari daerah sini, turun dia (gajah) ke daerah lain,” sebutnya.
Upaya paling efektif untuk mengatasi konflik ini secara permanen dan jangka panjang, kata dia, adalah lewat membangun pusat konservasi khusus semacam santuari. “Nanti gajah-gajah liar yang mengamuk itu kita tangkap dan kita tempatkan di santuari itu. Di situ tempat mereka hidup. Itu semacam habitat baru bagi mereka,” ujar Genman.
Menurutnya BKSDA sedang merancang pembangunan santuari, dan sudah mengkomunikasikan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli konservasi dan pemerintah. Dalam rancangan itu ikut dibagikan kewenangan penanganan konflik satwa yang kini sering tumpang tindih antara satu instansi dengan isntansi lainnya.
“Kita berharap rancangan ini disetujui pemerintah,” pungkasnya.(Salman mardira - Okezone.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar