TINJAUAN YURIDIS PERSEKONGKOLAN PENGADAAN - TEST

Breaking

Minggu, 30 Juli 2017

TINJAUAN YURIDIS PERSEKONGKOLAN PENGADAAN

SABELA GAYO, S.H.,M.H.,Ph.D.,CPL.,CPCLE
Definisi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah “kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa” (vide Pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Sedangkan pengertian Persekongkolan atau Konspirasi Usaha adalah “Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol” (vide Pasal 1 angka 8 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat). Kemudian definisi Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah “persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha” (vide Pasal 1 angka 6 Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat). 

Berdasarkan uraian definisi Pengadaan Barang/Jasa pemerintah diatas maka praktik persekongkolan tidak hanya terjadi pada saat proses lelang dilakukan namun juga berpotensi terjadi sejak proses perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, penanggaran, sampai kepada proses pemilihan penyedia barang/jasa. 

Persekongkolan pengadaan dapat dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) dan sekaligus dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan terorganisir (organized crime) yang pembuktiannya sangat sulit karena biasanya berlangsung dengan sangat rapi dan melibatkan banyak pelaku (dader). 

Walaupun proses pembuktiannya demikian sulit namun bukan berarti persekongkolan pengadaan tidak dapat dibuktikan secara yuridis formil. Pasal 6 Perpres Nomor 54/2010 tentang Etika Pengadaan menyebutkan bahwa “Para pihak yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa harus mematuhi etika sebagai berikut;

melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;

bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;

tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;

menghindari dan mencegah terjadi pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;
menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan negara; dan
tidak menerima, tidak menawarkan, atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.”

Berdasarkan uraian Pasal 6 Perpres 54/2010 diatas, maka terdapat larangan bagi para pihak yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa terkait dengan praktik persaingan usaha yang tidak sehat (vide Pasal 6 huruf c Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Kemudian apabila terdapat pelanggaran sebagaimana diatur dalam pasal tersebut maka bagi pelanggarnya dapat dijatuhi sanksi administratif dan sanksi etik.  

Bahkan jika larangan tersebut dilanggar oleh para pihak yang terkait dengan proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah maka bagi pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan pengaduan kepada Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP) atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). 

“Dalam hal Penyedia Barang/Jasa atau masyarakat menemukan indikasi penyimpangan prosedur, KKN dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan atau pelanggaran persaingan yang sehat dapat mengajukan pengaduan atas proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa” (vide Pasal 117 Ayat 1 Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). 

Kemudian disebutkan bahwa “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditujukan kepada K/L/D/I yang bersangkutan dan/atau LKPP, disertai bukti-bukti kuat yang terkait langsung dengan materi pengaduan” (vide Pasal 117 Ayat 2 Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Walaupun biasanya banyak Penyedia Barang/Jasa yang meragukan independensi dan objektifitas APIP dalam menindaklanjuti dan memproses pengaduan yang terkait dengan dugaan praktik persekongkolan pengadaan dan praktik usaha tidak sehat.
Perlu dilakukan re-posisi dan re-strukturisasi APIP sebagai salah satu lembaga yang menangani pengaduan pengadaan. 

Keberadaan APIP yang secara struktural berada langsung dibawah Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah membuat pihak-pihak yang merasa dirugikan terkait adanya dugaan praktik persekongkolan pengadaan, praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah enggan melaporkan kasusnya ke APIP. Perlu dipertimbangkan untuk dibentuknya semacam Komite Etik Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang komposisi komisionernya bersifat kolektif kolegial, independen, objektif dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (eksekutif dan legislatif).

Perbuatan pidana berupa persekongkolan pengadaan biasanya merupakan suatu kejahatan yang tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan erat dengan kejahatan lainnya seperti penyuapan, penyalahgunaan posisi dominan dan praktik monopoli.

 Namun demikian, jika dikaji lebih dalam lagi terkait definisi Persekongkolan dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maka ada sedikit perbedaan mengenai definisi, maksud dan tujuan dari istilah Persekongkolan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana yang diatur oleh Perpres Nomor 4/2015 tentang Perubahan Keempat Perpres Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan istilah Persekongkolan dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang terkait dengan Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana yang diatur oleh UU No.5 Tahun 1999. Oleh karena itu definisi, maksud dan tujuan Persekongkolan dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana yang diatur oleh UU No.5 Tahun 1999 perlu direvisi dan diperluas agar lebih sesuai dengan konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Di dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, modus operandi persekongkolan pengadaan tidak hanya berpotensi terjadi antar satu Penyedia Barang/Jasa dengan Penyedia Barang/Jasa lainnya (dapat disebut dengan Persekongkolan Horizontal A), namun juga sangat berpotensi terjadi antara Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (Pokja ULP/Pejabat Pengadaan) dengan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa lainnya (PA/KPA/PPK) atau dapat disebut dengan Persekongkolan Horizontal B atau juga pola kombinasi Persekongkolan Pengadaan antara Penyedia Barang/Jasa Pemerintah (Badan Usaha/Perseorangan) dengan Pengelola Pengadaan (PA/KPA/PPK/Pokja ULP/Pejabat Pengadaan/PPHP) atau disebut dengan Persekongkolan Vertikal. Bahkan dalam bentuk Persekongkolan Pengadaan yang lebih luas lagi, dapat berpotensi terjadi antara Asosiasi Pengusaha dengan Pengelola Pengadaan melalui modus operandi pembentukan aturan-aturan yang ketat dan berjenjang dalam hal klasifikasi dan kualifikasi badan usaha yang dalam praktiknya digunakan sebagai persyaratan kualifikasi yang wajib dipenuhi oleh para Penyedia Barang/Jasa (Badan Usaha/Perseorangan). 

Sebagai salah satu contoh modus operandi Persekongkolan Pengadaan adalah dengan ditemukannya aturan persyaratan penyedia yang mewajibkan Penyedia Barang/Jasa melampirkan surat dukungan dari pabrikan/distributor utama dalam penyediaan Barang/Jasa tertentu dengan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.  

Padahal ketentuan mengenai surat dukungan tersebut sendiri tidak ada diatur di dalam Perpres Nomor 54/2010 dan perubahannya maupun di dalam Peraturan Kepala LKPP lainnya sehingga patut diduga surat dukungan yang selama ini dipraktikkan sebagai persyaratan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan salah satu bentuk modus operandi Persekongkolan Pengadaan dalam arti yang luas. Walaupun hal itu perlu diidentifikasi secara mendalam dan komprehensif oleh Lembaga yang diberikan kewenangan dalam mengawasi Persaingan Usaha.

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 disebutkan bahwa “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Ketentuan ini mengatur tentang adanya larangan persekongkolan pengadaan diantara sesama Pelaku Usaha dan pihak lain. 

Namun pengaturan pada Pasal 22 tersebut bertentangan dengan definisi Persengkongkolan itu sendiri (vide Pasal 1 angka 8 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat).  Dari ketentuan Pasal 22 tersebut setidaknya ada beberapa unsur yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai perbuatan Persekongkolan yaitu; 1). Unsur Pelaku Usaha, 2). Unsur Bersekongkol, 3). Unsur Pihak Lain, 4). Unsur Mengatur dan atau Menentukan Pemenang Tender, dan 5) Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat. 

Namun yang pasti, jika Penyedia Barang/Jasa menemukan adanya indikasi dan/atau perbuatan Persekongkolan Pengadaan atau Persaingan Usaha Tidak Sehat maka pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh upaya hukum melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Upaya hukum yang dilakukan dapat dimulai sejak diumumkannya pelelangan sampai dengan ditetapkannya pemenang lelang dan atau sepanjang diketahuinya adanya indikasi Persekongkolan Pengadaan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar